Thursday, February 7, 2013

Cersing (Cerita singkat)


KISAH MASA KECILKU
Mengingat masa lalu memang tidak gampang. Apalagi masa yang harus diingat sekitar belasan bahkan puluhan tahun yang lalu, serta tanpa dokumentasi sedikitpun. Peristiwa yang benar-benar sangat berkesanlah yang tak terlupakan. Biasanya peristiwa atau hal buruk, menyakitkan, dan penderitaan, lebih mudah diingat daripada peristiwa menyenangkan, sukacita. Meskipun demikian, bukan berarti peristiwa meyenangkan menjadi terlupakan semuanya.
Menjadi anak-anak. Siapakah yang tidak pernah melaluinya? Semua manusia pernah menjadi anak-anak, bahkan Tuhan sendiri pernah menjadi dan seperti anak-anak. Layaknya orang dewasa mengalami banyak hal, demikian pula si anak, karena dia hidup bersama orang yang sudah dewasa.
Memang tidak banyak yang bias saya ingat, tetapi berikut ini secerca ingatan yang dapat saya tuangkan dalam tulisan ini.
Aku terlahir di sebuah pedesaan, dipedalaman Kabupaten Bengkayang, tepatnya di Desa Telidik, Kecamatan Teriak. Hidup dari  keluarga yang sederhana bukanlah saya yang mengatur, Yang Maha Kuasalah yang menghendakinya. Aku anak ketiga dari empat bersaudara (satu saudara perempuan dan dua saudara laki-laki). Boleh dikatakan kami semua sangat disayangi oleh kedua orang tua kami. Orang tua kami hanyalah petani biasa, yang hidupnya masih bergantung pada perghasilan dari sawah dan ladang juga dari pohon karet yang disadap getahnya untuk dijadikan sumber uang.
Tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan menulis suatu cerita seperti ini, cerita masa kecil, yang menuntut saya mengingat kembali kehidupan masa kecil saya. Tapi aku bersyukur dengan begini aku dapat memuliakan Tuhan, karena berkat dan rahmat-Nya aku menjadi seperti sekarang ini dan mampu menulis cerita singkat ini.
Ibuku pernah bercerita ketika aku dilahirkan, dia tidaklah mengalami sakit yang luar biasa, dia mengalami sakit yang normal. Para orang tua mengatakan jika saat melahirkan tidak sulit berarti  anakmu akan menjadi anak yang baik. Aku dilahirkan dan hidup di November 1992, tepatnya pada tanggal 29 (saya tidak tahu persisnya pukul berapa). Aku dilahirkan dengan cara tradisional, tanpa ada peralatan dan bahan medis sedikitpun. Aku diberi ASI (air susu ibu) eksklusif, tanpa susu formula. Ketika ibu tidak sempat menyusuiku, aku diberi air nasi yang sudah diberi gula, dan yang memberikan itu abang atau kakak, sementara ibu membereskan rumah. Selain mengurus rumah, mengurus anak-anak yang masih kecil (ada tiga orang), pergi keladang mengurus tanaman padi dan sumber pangan lainnya, dapat pula membantu bapak nyadap getah karet. Sungguh ibu yang luar biasa. Ibu dan bapak memang tergolong pasangan yang menikah muda ( ibu kira-kira 19 tahun waktu dia menikah (mungkin), karena ibi bilang diapun tidak ingat, maklum ibu dan bapak tidak bersekolah sehingga sulit untuk mengetahui penaggalan. Ditambah lagi, tempat bersekolah yang memang cukup jauh dari kampong kami, serta orang tua mereka yang tidak mengijinkan mereka untuk bersekolah (sedih sekali)).
Aku tumbuh dan mulai berkembang menjadi anak yang energik, riang dan penuh semangat dari ASI dan air nasi (hebatkan). Aku ingat beberapa peristiwa ketika aku berumur sekitar dua atau tiga  tahun, bersama sepupuku diwaktu hujan deras sekali, kami menari sambil bernyanyi riang sambil tertawa karena merasa lucu ( tentunya, karena kami menari didalam sarung, hmmm senang sekali ketika itu, walaupun hujan). Ya, kami juga bermain dengan gelang karet, semacam perlombaan, siapa yang bisa mengalahkan lawan dengan memperolah karet gelang lawannya lebih banyak, dia menang. Kami juga main engke-engke, kelereng, petek umpet, kaleng umpet, seru sekali hidup dimasa kecil. Serasa ingin menjadi anak kecil lagi.
Di lain peristiwa aku mungkin sudah beberapa kali menceritakan hal ini ( pada orang tertentu). Dan cerita ini adalah cerita yang tak akan pernah aku lupakan sampai aku tak bernafas lagi. Orang kejadian itu karena “kemponan’ yang artinya mau makan sesuatu tapi tidak jadi makan atau mencicpinya sedikitpun. Ya, persisnya waktu itu, aku masih ingat betul rasanya, dan aku merasa ketika aku mengingatnya aku seperti berada di sana dan mengalami reka ulang masa lalu. Bapak akan pergi mencari ikan dengan temannya, aku ingin ikut, tetapi aku merasa lapar. Lantas aku meminta makan kepada bapak, sedangkan bapak akan pergi mencari ikan disungai ( bukan sekitar sungai untuk mandi loh). Bapak mengatakan bahwa abang yang akan mengambilkan makanan untukku , setelah itu bapak pergi. Aku menunggu untuk makananku. Aku ingat waktu itu abang sedang menjemur padi di “dangau” ( lumbung padi ). Diwaktu itu juga ibu dan kakak sedang bepergian kekampung tetangga, mengunjungi sanak sudara disana. Merasa capek menunggu akupun langsung berlari keluar rumah, dengan maksud mengejar bapak yang sudah beberapa menit yang lalu sudah berangkat (dan mungkin sudah sampai ditempat tujuannya). Entah apa yang aku rasakan, aku sedih dan berhenti di ssebuah jembatan yang tidak jauh dari rumah kami (kira-kira 20 meter dari rumah). Saya duduk termanggu dijembatan itu memperhatikan aliran air sungai yang jernih dan bersih juga terlihat menyegarkan jika nyebur disana (walaupun sungainya dangkal). Sepi sekali sungai itu, sesepi hatiku. Hanya aku dan hembusan angin yang sesekali menabrak dedaunan, yang membuat daun-daun itu meringkik seperti kuda berang, serta sedikit riak air sungai. Begitu damai dan sangat alami.
Tepat dibelakangku ada sebuah pohon besar( besar sekali, mungkin entah berapa ribu kali besar tubuhku). Pohon itu sebagai penyangga jembatan tersebut, karena tali-tali besi diikatkan padanya sehingga jembatan bisa tergantung indah disana. Entah apa yang terjadi sesungguhnya. Aku tidak tahu.  Aku hanya merasa seperti sedang diayun oleh kakak di ayunanku dirumah, mataku redup dan tertidur. Setelah aku sadar, aku terkejut, dan hanya menangis tersedu-sedu saja. Aku sudah berdiri kaku dengan seluruh tubuh dan wajah berlumuran darah, dan aku hampir tidak bisa melihat. Untung saja air sungai tidak sedang pasang, hanya setinggi mata kaki saja. Aku pasrah, tidak bisa bergerak rasanya. Syukur lagi yang patut kuucapkan, karena tak lama kemudian ada sepupuku yang lain datang untuk mandi dan membersihkan peralatan makan. Langsung saja setelah sampai dijamban, mereka melihat aku yang sedang menangis dan berdarah-darah. Tanpa menunggu mereka mendekati aku lalu mengiring aku menuju jamban dan membersihkan seadanya darah yang menutupi wajahku. Kemudian mereka membawaku pulang, dan sesampainya aku dirumah aku pingsan, tidak sadarkan diri. Tetengga sangat heran. Walaupun aku pingsan tetapi aku seperti merasakan banyak orang yang dating melihatku tergeletak tak berdaya serta penuh darah. aku juga seperti melihat bapak pulang membawa dua ekor ikan yang besar sekali, dia memarahi abang sejadi-jadinya, sampai aku melihat di hampir menghunuskan parang keatas abangku, tragis sekali rasanya. Aku juga melihat ibu dan kakak baru saja pulang dengan tergesa-gesa masuk rumah dan mendapati aku tergeletak tak ada yang menyentuh. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Ternyata aku masih hidup. Aku sadar sambil mengerang kesakitan, rupanya sudah pagi. Aku ingat betul ibuku menggosokkan telor rebus bulat diwajahku, katanya si untuk menghilangkan biru yand ada diwajahku, dan memang benar, birunya semakin berkurang. Terima kasih bu.
Ini kelanjutan dari kisah wajah biruku.
Mungkin dua hari setelah kejadian itu, ibu dan bapak tidak tahan melihat aku kesakitan, mereka bermaksud membawaku ke rumah sakit, tetapi mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh, bapak berpikir untuk meminta bantuan orsng dikampung yang memilki kendaraan bermotor untuk mengantarkan kami, maklum kami hanya ada sebuah sepeda buntut, apa tidak gila kalo bapak menggunakan sepeda tanpa engkolan membawaku ke kabupaten yang biasa memakan waktu satu hari ( jangan sampai kami harus bermalam dijalan). Aku melihat sendiri raut khawatir wajah bapak karena tidak mendapatkan tumpangan. Nyaris bapak nekat berjalan kaki kesana. Kali ini bapak memang luar biasa. Tuhan masih mencintaiku dan kami ( tapi Tuhan memang mencintai semua orang), ada seseorang (masih termasuk keluarga jauh kami), akan pergi ke pasar katanya, dan dia bersedia mengantarkan kami. Sungguh, dia baik sekali. Semoga dia selalu diberkahi Tuhan itu doaku untuknya.
Itu sdikit ceritaku, yang benar-benar aku ingat, mungkin dilain waktu cerita ini disambung lagi dengan kisah remaja kecil.
Terima kasihkeu yang tak terhingga untuk ibu, bapak, abang, dan kakak. IMANNUEL.

No comments: