KISAH MASA KECILKU
Mengingat
masa lalu memang tidak gampang. Apalagi masa yang harus diingat sekitar belasan
bahkan puluhan tahun yang lalu, serta tanpa dokumentasi sedikitpun. Peristiwa
yang benar-benar sangat berkesanlah yang tak terlupakan. Biasanya peristiwa
atau hal buruk, menyakitkan, dan penderitaan, lebih mudah diingat daripada
peristiwa menyenangkan, sukacita. Meskipun demikian, bukan berarti peristiwa
meyenangkan menjadi terlupakan semuanya.
Menjadi
anak-anak. Siapakah yang tidak pernah melaluinya? Semua manusia pernah menjadi
anak-anak, bahkan Tuhan sendiri pernah menjadi dan seperti anak-anak. Layaknya
orang dewasa mengalami banyak hal, demikian pula si anak, karena dia hidup
bersama orang yang sudah dewasa.
Memang
tidak banyak yang bias saya ingat, tetapi berikut ini secerca ingatan yang
dapat saya tuangkan dalam tulisan ini.
Aku terlahir
di sebuah pedesaan, dipedalaman Kabupaten Bengkayang, tepatnya di Desa Telidik,
Kecamatan Teriak. Hidup dari keluarga
yang sederhana bukanlah saya yang mengatur, Yang Maha Kuasalah yang
menghendakinya. Aku anak ketiga dari empat bersaudara (satu saudara perempuan
dan dua saudara laki-laki). Boleh dikatakan kami semua sangat disayangi oleh
kedua orang tua kami. Orang tua kami hanyalah petani biasa, yang hidupnya masih
bergantung pada perghasilan dari sawah dan ladang juga dari pohon karet yang
disadap getahnya untuk dijadikan sumber uang.
Tak
terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan menulis suatu cerita seperti ini, cerita
masa kecil, yang menuntut saya mengingat kembali kehidupan masa kecil saya.
Tapi aku bersyukur dengan begini aku dapat memuliakan Tuhan, karena berkat dan
rahmat-Nya aku menjadi seperti sekarang ini dan mampu menulis cerita singkat
ini.
Ibuku
pernah bercerita ketika aku dilahirkan, dia tidaklah mengalami sakit yang luar biasa,
dia mengalami sakit yang normal. Para orang tua mengatakan jika saat melahirkan
tidak sulit berarti anakmu akan menjadi
anak yang baik. Aku dilahirkan dan hidup di November 1992, tepatnya pada
tanggal 29 (saya tidak tahu persisnya pukul berapa). Aku dilahirkan dengan cara
tradisional, tanpa ada peralatan dan bahan medis sedikitpun. Aku diberi ASI
(air susu ibu) eksklusif, tanpa susu formula. Ketika ibu tidak sempat menyusuiku,
aku diberi air nasi yang sudah diberi gula, dan yang memberikan itu abang atau
kakak, sementara ibu membereskan rumah. Selain mengurus rumah, mengurus anak-anak
yang masih kecil (ada tiga orang), pergi keladang mengurus tanaman padi dan
sumber pangan lainnya, dapat pula membantu bapak nyadap getah karet. Sungguh
ibu yang luar biasa. Ibu dan bapak memang tergolong pasangan yang menikah muda
( ibu kira-kira 19 tahun waktu dia menikah (mungkin), karena ibi bilang diapun
tidak ingat, maklum ibu dan bapak tidak bersekolah sehingga sulit untuk
mengetahui penaggalan. Ditambah lagi, tempat bersekolah yang memang cukup jauh
dari kampong kami, serta orang tua mereka yang tidak mengijinkan mereka untuk
bersekolah (sedih sekali)).
Aku tumbuh
dan mulai berkembang menjadi anak yang energik, riang dan penuh semangat dari
ASI dan air nasi (hebatkan). Aku ingat beberapa peristiwa ketika aku berumur
sekitar dua atau tiga tahun, bersama
sepupuku diwaktu hujan deras sekali, kami menari sambil bernyanyi riang sambil
tertawa karena merasa lucu ( tentunya, karena kami menari didalam sarung, hmmm
senang sekali ketika itu, walaupun hujan). Ya, kami juga bermain dengan gelang
karet, semacam perlombaan, siapa yang bisa mengalahkan lawan dengan memperolah
karet gelang lawannya lebih banyak, dia menang. Kami juga main engke-engke, kelereng,
petek umpet, kaleng umpet, seru sekali hidup dimasa kecil. Serasa ingin menjadi
anak kecil lagi.
Di
lain peristiwa aku mungkin sudah beberapa kali menceritakan hal ini ( pada
orang tertentu). Dan cerita ini adalah cerita yang tak akan pernah aku lupakan
sampai aku tak bernafas lagi. Orang kejadian itu karena “kemponan’ yang artinya
mau makan sesuatu tapi tidak jadi makan atau mencicpinya sedikitpun. Ya,
persisnya waktu itu, aku masih ingat betul rasanya, dan aku merasa ketika aku
mengingatnya aku seperti berada di sana dan mengalami reka ulang masa lalu.
Bapak akan pergi mencari ikan dengan temannya, aku ingin ikut, tetapi aku
merasa lapar. Lantas aku meminta makan kepada bapak, sedangkan bapak akan pergi
mencari ikan disungai ( bukan sekitar sungai untuk mandi loh). Bapak mengatakan
bahwa abang yang akan mengambilkan makanan untukku , setelah itu bapak pergi. Aku
menunggu untuk makananku. Aku ingat waktu itu abang sedang menjemur padi di
“dangau” ( lumbung padi ). Diwaktu itu juga ibu dan kakak sedang bepergian
kekampung tetangga, mengunjungi sanak sudara disana. Merasa capek menunggu akupun
langsung berlari keluar rumah, dengan maksud mengejar bapak yang sudah beberapa
menit yang lalu sudah berangkat (dan mungkin sudah sampai ditempat tujuannya). Entah
apa yang aku rasakan, aku sedih dan berhenti di ssebuah jembatan yang tidak
jauh dari rumah kami (kira-kira 20 meter dari rumah). Saya duduk termanggu
dijembatan itu memperhatikan aliran air sungai yang jernih dan bersih juga
terlihat menyegarkan jika nyebur disana (walaupun sungainya dangkal). Sepi
sekali sungai itu, sesepi hatiku. Hanya aku dan hembusan angin yang sesekali
menabrak dedaunan, yang membuat daun-daun itu meringkik seperti kuda berang, serta
sedikit riak air sungai. Begitu damai dan sangat alami.
Tepat
dibelakangku ada sebuah pohon besar( besar sekali, mungkin entah berapa ribu
kali besar tubuhku). Pohon itu sebagai penyangga jembatan tersebut, karena
tali-tali besi diikatkan padanya sehingga jembatan bisa tergantung indah
disana. Entah apa yang terjadi sesungguhnya. Aku tidak tahu. Aku hanya merasa seperti sedang diayun oleh
kakak di ayunanku dirumah, mataku redup dan tertidur. Setelah aku sadar, aku
terkejut, dan hanya menangis tersedu-sedu saja. Aku sudah berdiri kaku dengan
seluruh tubuh dan wajah berlumuran darah, dan aku hampir tidak bisa melihat. Untung
saja air sungai tidak sedang pasang, hanya setinggi mata kaki saja. Aku pasrah,
tidak bisa bergerak rasanya. Syukur lagi yang patut kuucapkan, karena tak lama
kemudian ada sepupuku yang lain datang untuk mandi dan membersihkan peralatan
makan. Langsung saja setelah sampai dijamban, mereka melihat aku yang sedang
menangis dan berdarah-darah. Tanpa menunggu mereka mendekati aku lalu mengiring
aku menuju jamban dan membersihkan seadanya darah yang menutupi wajahku.
Kemudian mereka membawaku pulang, dan sesampainya aku dirumah aku pingsan,
tidak sadarkan diri. Tetengga sangat heran. Walaupun aku pingsan tetapi aku
seperti merasakan banyak orang yang dating melihatku tergeletak tak berdaya
serta penuh darah. aku juga seperti melihat bapak pulang membawa dua ekor ikan
yang besar sekali, dia memarahi abang sejadi-jadinya, sampai aku melihat di
hampir menghunuskan parang keatas abangku, tragis sekali rasanya. Aku juga
melihat ibu dan kakak baru saja pulang dengan tergesa-gesa masuk rumah dan
mendapati aku tergeletak tak ada yang menyentuh. Setelah itu aku tak ingat
apa-apa lagi.
Ternyata
aku masih hidup. Aku sadar sambil mengerang kesakitan, rupanya sudah pagi. Aku
ingat betul ibuku menggosokkan telor rebus bulat diwajahku, katanya si untuk
menghilangkan biru yand ada diwajahku, dan memang benar, birunya semakin
berkurang. Terima kasih bu.
Ini
kelanjutan dari kisah wajah biruku.
Mungkin
dua hari setelah kejadian itu, ibu dan bapak tidak tahan melihat aku kesakitan,
mereka bermaksud membawaku ke rumah sakit, tetapi mengingat jarak yang ditempuh
cukup jauh, bapak berpikir untuk meminta bantuan orsng dikampung yang memilki
kendaraan bermotor untuk mengantarkan kami, maklum kami hanya ada sebuah sepeda
buntut, apa tidak gila kalo bapak menggunakan sepeda tanpa engkolan membawaku
ke kabupaten yang biasa memakan waktu satu hari ( jangan sampai kami harus
bermalam dijalan). Aku melihat sendiri raut khawatir wajah bapak karena tidak
mendapatkan tumpangan. Nyaris bapak nekat berjalan kaki kesana. Kali ini bapak
memang luar biasa. Tuhan masih mencintaiku dan kami ( tapi Tuhan memang
mencintai semua orang), ada seseorang (masih termasuk keluarga jauh kami), akan
pergi ke pasar katanya, dan dia bersedia mengantarkan kami. Sungguh, dia baik
sekali. Semoga dia selalu diberkahi Tuhan itu doaku untuknya.
Itu
sdikit ceritaku, yang benar-benar aku ingat, mungkin dilain waktu cerita ini
disambung lagi dengan kisah remaja kecil.
Terima
kasihkeu yang tak terhingga untuk ibu, bapak, abang, dan kakak. IMANNUEL.
No comments:
Post a Comment